Menurut sejarah tertulis dan tradisi lisan yang berkembang dari waktu ke waktu, alkisah nama ‘Nita’ berasal dan diambil dari nama sebuah pohon besar yang tumbuh di tengah-tengah perkampungan bernama pohon Nita. Di bawah naungan pohon inilah pada zaman dahulu kala menjadi tempat berteduh atau istirahat bahkan menjadi ‘terminal antar kampung’, termasuk menjadi pasar atau tempat jual beli antar warga kampung pada masa itu.
Nama pohon dan tempat itu kemudian secara turun temurun dan dari masa ke masa dalam penyebutan lazim E’i Nita, Lau Nita, Le Nita, Wali Nita, Wawa Nita atau Reta Nita,untuk menunjukan tempat asal dan tujuan perjalanan atau tempat perhentian warga yang kemudian lazim disebut ‘Natar Nita’. Inilah asal muasal dari penamaan Kampung Nita atau Desa Nita dengan Pohon Nita sebagai simbol nama dan sejarah penyebutannya3.
Adapun penduduk Nita pada waktu itu hidup berkelompok atau disebut ‘kloang’ dalam satu kesatuan adat atau suku dengan rumah adat bersama yang disebut ‘lepo’ dan dikepalai oleh seorang kepala suku4. Dari ‘kloang’ atau ‘suku’ dan
‘lepo’ inilah yang membentuk satu kesatuan yang disebut ‘Natar’ atau Kampung dibawah pimpinan Kepala Kampung. Dari catatan sejarah dan cerita lisan berkembang, tercatat kurang lebih 7 (tujuh) suku atau lepo yang hidup dan berkembang pada masa itu sampai dengan sekarang seperti; Lepo Gete (Ratu/Raja), Lepo Kolit, Lepo Degodona, Lepo Geronpun, Lepo Lorat, Lepo Orin Bao dan Lepo Tour Orin Gete.
Dalam perjalanan waktu seiring dengan ekspansi Hindia Belanda ke Indonesia dan Flores pada khususnya, maka terbentuk pula model pemerintahan baru di setiap kampung dengan penyebutannya masing-masing. Antara lain ‘Natar Nita’ menjadi wilayah Kapitan Nita (kurang lebih sama dengan Kampung) dengan Kepala Kampung atau Kapitan pertamanya Philipus Muda Meak da Silva dan Raja Nita (sebutan untuk Kepala persekutuan Kampung atau disebut Kerajaan) Don Juang da Silva. Selanjutnya oleh Pemerintah Hindia Belanda, Kerajaan Nita kemudian berafiliasi pada Kerajaan Sikka dan Nita sendiri menjadi Hamente di bawah kepemimpinan Kapitan Don Pederico da Silva.
1Kajian dari pelbagai sumber sejarah lisan dan tertulis tentang Desa Nita.
2Pohon Nita adalah sebuah pohon dengan jenis berbatang besar dan tinggi, berdaun rimbun serta memiliki buah yang dapat dikonsumsi dan dijadikan sebagai makanan ringanpenduduk pada masa itu. Berdasarkan cerita turun temurun, tempat beradanya Pohon Nita pada waktu itu terletak pada areal lokasi pertokoan Nita sekarang.
3 Dan untuk melestarikan simbol Desa Nita tersebut, maka pada tanggal 08 Januari 2014, telah ditanam sebatang Pohon Nita di halaman Kantor Desa Nita melalui seremoni adat sederhana sebagai tanda lestari budaya dan deskripsi simbolik Desa Nita agar diketahui dan tidak dilupakan oleh generasi sekarang dan yang akan datang.
4Pengertian ‘Suku” berasal dari kata bahasa Portugis ‘Suco’ yang berarti satu kesatuan warga atau
orang perorangan yang tinggal dan menetap dalam suatu ruang lingkup keluarga atau wilayah tertentu, dipimpin oleh seorang ‘Chefe Suco’ atau kepala suku sebagai penatua arif yang memimpin keberadaan sebuah suku secara turun temurun dan berkelanjutan. Pada masa sekarang di Desa Nita telah terbentuk Lembaga Adat Desa dengan keanggotaannya yang terdiri dari wakil setiap ‘lepo’ atau suku-suku tersebut diatas dengan nama Lembaga Adat ‘Watu Pitu’.
Pada tahun 1958, terbentuklah Pemerintahan Kabupaten Sikka dan Hamente Nita menjadi Kecamatan Nita dengan Camat Pertamanya Philipus Muda Meak da Silva dan yang menjadi Kepala Kampung Nita pada saat itu adalah Hendrikus Gleko Kolit.
Pada tahun 1967, istilah Kampung berubah menjadi Desa Gaya Baru dan kemudian menjadi Desa seperti sekarang ini yaitu Desa Nita. Pemerintahan Desa Nita secara resmi dan sah sebagai Desa Gaya Baru Nita berdasarkan Instruksi Gubernur KDh Tkt. I Nusa Tenggara Timur Nomor 1/2/1967 tertanggal 04
Desember 1967. Pada tahun 1999, wilayah pemerintahan Desa Nita dimekarkan menjadi 2 (dua) Desa yaitu Desa Nita dan Desa Takaplager.
Sejarah Pembangunan Desa
Ciri utama pembangunan di desa berdasarkan tradisi dan budaya yang berkembang dari masa ke masa adalah berazaskan musyawarah dan prinsip kebersamaan gotong royong. Gotong-royong sebagai pola hidup bersama yang menjunjung tinggi asas solidaritas dan fraternitas, serta musyawarah sebagai model komunike partisipatif yang melibatkan semua golongan masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
Dalam kehidupan masyarakat Desa Nita pada umumnya sampai dengan saat ini, kebiasaan gotong royong dan musyawarah bersama masih dipertahankan dan terpelihara baik dalam pelbagai bidang kehidupan, secara khusus dalam proses pengambilan kebijakan serta perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa. Pola hidup gotong royong dan musyawarah itu dapat dilihat dari:
a) Kebiasaan gotong royong dalam pengerjaan kebun dan penggarapan lahan, kegiatan bhakti desa, pembangunan rumah warga atau sarana prasarana umum lainnya yang dikenal dengan istilah ‘Sako Seng’ atau ‘Lahi Lekang’.
b) Kebiasaan partisipatif dalam komunitas adat dan kehidupan bersama ketika menghadapi peristiwa kematian, kelahiran, perkawinan dan musibah melalui cara dan upaya saling mengajak atau ‘Gaging Gatang’, saling mengunjungi atau
‘Dulu Dalang’ dan dalam ikatan persahabatan atau ‘Imung Deung’.
c) Kebijakan melalui musyawarah mufakat untukpengambilan keputusan dalam pelbagai kegiatan bersama serta penyelesaian masalah publik lainnya melalui komunike ‘Kula Babong’ atau ‘Bibo Babong’ bersama.
Sejarah pembangunan desa dari masa ke masa melalui pelaksanaan program dan kegiatan baik dari pemerintah pusat, provinsi dan daerah serta bantuan sosial lainnya senantiasa diupayakan untuk memberdayakan masyarakat berdasarkan prinsip keutamaan gotong royong dan musyawarah bersama.
Melalui penerapan prinsip gotong royong dan musyawarah tersebut, pemerintah dan masyarakat dapat berdikari untuk membangun desa secara swadaya, swakelola, swakarsa dan mandiri. Desa swadaya dan swakelola dapat mengambarkan kehidupan desa yang dinamis dan berkembang. Dengan demikian, pelaksanaan pembangunan desa tidak hanya bergantung sepenuhnya pada bantuan dan perhatian pemerintah semata, tetapi di sisi lain masyarakat dilatih untuk berusaha mengembangkan dan memberdayakan segala sumber daya dan potensi desa baik fisik maupun non fisik demi kesejahteraan bersama.
Oleh karena itu, partisipasi masyarakat desa secara aktif, kreatif dan imajinatif dalam pelaksanaan pembangunan, antara lain melalui penerapan komunike budaya; kula babong, dulu dalang, gaging gatang, imung deung, lahi lekang atau sako seng menjadi kebijakan prioritas dalam rencana strategis pelaksanaan visi dan misi RPJMDes Desa Nita Tahun 2014-2019 dan ziarah pembangunan desa selanjutnya.
